Keris Pusaka Minangkabau: Suatu Kajian Fungsi, Unsur Visual dan Makna (Bagian 1)
Oleh Drs. Erwin A., M.Sn
Dosen Seni Rupa FBSS UNP Padang
(Editor: Nasbahry Couto)
Abstrak
Penelitian ini merupakan studi awal tentang benda budaya tradisional Minangkabau dalam bentuk keris yang menjadi barang pusaka sampai sekarang. Sebagai benda pusaka budaya yang terlihat (tangible cultural Heritage), ia merupakan visualisasi dari ide/gagasan, nilai-nilai, norma-norma, atau aturan tertentu. Kehadirannya kelihatan sebagai salah satu atribut pakaian adat para penghulu pakaian marapulai (pengantin laki-laki) di Minangkabau merupakan tanda (sign) yang mengandung pesan atau makna tertentu. Permasalahan terpenting dari penelitian ini terletak pada tanda (sign) dan makna yang terkandung di balik peragaan pada keris ini. Dengan demikian, tujuan utama penelitian ini adalah mencoba mengungkapkan pesan atau makna yang dikandung keris pusaka ini secara lengkap yaitu dari bilahan, sarung, gagangnya menurut pandangan orang Minangkabau. Di samping untuk meneliti tentang tipologi keris, dan tatacara pemakaiannya dalam tatabusana adat melalui bentuk penelitian deskriptif kualitatif dengan metode analisis semiotik. Kemudian diperoleh sejumlah informasi tentang tanda-tanda bermakna yang terdapat pada keris ini. Tanda-tanda itu merupakan simbol dari ajaran adat Minangkabau yang dipedomani oleh setiap penghulu/pemimpin, hakim, atau orang yang ditugasi suatu jabatan, dalam menjalankan fungsinya sebagai pimpinan. Keris bagi orang Minang adalah simbol/lambang status sosial, keadilan, kebenaran, dan simbol kehidupan umumnya. Yang menarik adalah sebuah kenyataan bahwa tidak semua pemilik dan atau masyarakat mengetahui dan mengerti pesan/makna keris secara detail. Umumnya masyarakat Minang hanya mengetahui keris sebagai bagian dari pakaian kebesaran seorang pengulu. Tidak pula ditemukan makna-makna khusus yang berhubungan dengan tuah/magis keris. Namun bagi seorang kolektor keris, selain dapat mengumpulkan keris antik yang bernilai jual tinggi, ada rasa puas tersendiri baginya jika telah memiliki keris pusaka Minangkabau.
Kata Kunci: Keris, Budaya Minangkabau, Unsur Visual, Fungsi dan Makna
Latar Belakang
Banyak pakar kebudayaan mengatakan bahwa percepatan perkembangan budaya suatu etnik tidak terlepas dari persentuhannya dengan etnik atau bangsa lain. Kadangkala percepatan itu membawa dampak positif dalam arti dapat menumbuh kembangkan budaya yang sudah dimiliki sebelumnya. Namun, tidak sedikit pula yang berdampak negatif terhadap budaya asli itu sendiri. Budaya asli bahkan dapat hilang, sehingga yang mengemuka adalah unsur budaya luar asing yang baru. Kecenderungan ini jelas terlihat pada masa belakangan ini, dimana yang lebih menonjol adalah unsur yang datang dari luar itu. Tentu saja hal seperti ini tak diinginkan. Yang diharapkan adalah budaya asli tetap menonjol dan tidak hilang, sedangkan budaya baru yang baik dapat menyempurnakan yang asli itu. Kita dapat melihat banyak warisan budaya lama, yaitu karya-karya monumental peninggalan nenek moyang bangsa Indonesia yang mengagumkan dan masih terpelihara, dan hal itu tentu berguna untuk generasi penerus untuk sebagai bukti sejarah bangsa dan budaya.
Kondisi ini tak terkecuali juga berlaku bagi budaya dan sejarah keminangkabauan sebagai salah satu di antara banyak budaya yang ada di Nusantara. Jauh-jauh hari, para pencetus adatnya telah menduga terjadinya perubahan budaya akibat persentuhannya dengan kebudayaan luar (dalam dan luar Nusantara), yang terumus dari salah satu mamangan adat Minang yang mengatakan: “sakali aia gadang, sakali tapian barubah” (sekali terjadi banjir, daerah tepian mandipun akan berubah). Perubahan itu sendiri merupakan suatu hal yang wajar terjadi dan adalah sebuah hukum alam, bahwa alam itu dapat mengalami perubahan. Namun, la dikatakan tidak wajar jika budaya lama itu dihilangkan dari sejarah, artinya telah tercerabut dari akar budaya yang telah ada.
Minangkabau itu etnis atau Budaya? Minangkabau itu bukan etnis tetapi budaya. Bagian titik-titik merah dari peta ini adalah situs-situs yang mengandung artefak peninggalan purba sampai zaman Hindu. Tambo Minangkabau sering digugat dan tidak dipercaya bahwa asal orang Minang itu dari nagari Pariangan. Menurut penelitian bahasa Herwandi dan Nadra, dan yang benar adalah dari Luhak Lima Puluh Kota (lihat penelitian Herwandi, Nadra dalam buku Menggugat Minangkabau" (2006). Penerbit Andalas University Press.). Penelitian lain dapat membuktikan bahwa Minangkabau itu bukan berasal dari satu etnis, tetapi beragam etnis. Bagaimanapun etnis Tamil (orang “kaliang”) bhs.Minang (Keling: Indonesia), dan atau rumpun Dravida dari India Selatan, adalah salah satu pembentuk budaya Minang (lih.Novelia Musda: 2011) yang juga membandingkan budaya dan bahasa tiga rumpun besar orang Tamil yaitu:Tulu, Malayalam, dan Tamil. Dapat dibandingkan tata adat marumakkatayam (Tamil) dengan sistem matrilineal Minangkabau sangat banyak persamaannya.Demikian juga dengan silat Karalippayat dengan siiat Minang (silahkan lihat videonya di internet atayoutube). Tabuik (Tabut) Pariaman juga pengaruh Tamil yang beragama Islam lebih kemudian. Dibawa oleh tentara Inggris etnis Tamil ke kawasan ini. Kalau kita perhatikan adat meminang dengan membeli laki-laki di Piaman juga pengaruh Tamil ini, sebab adat ini tidak ada di tempat lain di Minangkabau. Bahasa Minang juga cepat berubah, bahasa minang yang terpakai sekarang dasarnya adalah bahasa pergaulan Sekolah Raja di Bukittinggi seabad yang lalu, bahasa asli Bukittinggi dulunya tidak seperti itu, dulunya mirip dengan bahasa daerah-daerah terisolir seperti luhak 50 Kota yang masih memendam bahasa lama.(Novia Musda adalah Alumnus Islamic Studies, Universitet Leiden, Belanda, (sumber: SK. Singgalang, Senin 31 Januari, 2011).
Alasan lain coba lihat peta di atas. Dari peta ini terlihat bahwa jalur masuk masuk ke Sumatera Barat bukan hanya dari sungai Kampar Kanan (menuju 50 Kota), tetapi juga dari sungai Rokan, batang Kuantan dan Sungai Batanghari (tiga sungai terbesar) di kawasan ini. Batang Kuantan adalah yang terpenting, disamping Batanghari. Sebab batang Kuantan menyambung ke batang Ombilin dan batang Bengkawas (hulu sungai). Di hulu batang bengkawas ini lokasi Pariangan (yang dianggap sebagai asal nenek moyang dalam Tambo). Bahwa tempat ini adalah asal etnik Minangkabau mungkin salah. Tetapi di lokasi inilah komunitas pertama merumuskan budaya Minangkabau, yang kemudian tatacara adat ini mempengaruhi komunitas lain yang telah ada, dan mereka juga membawa teknologi pertanian padi (yang tidak mungkin muncul begitu saja di lokasi ini). Teknologi pertanian padi di daerah lereng gunung juga di kenal di India Selatan. Pada awalnya suku dirumuskan hanya dua yaitu Bodichaniago pengaruh ajaran Budhis dan Kotopiliang (ajaran kasta Hindu), ajaran ini kemudian menjadi sistem kelarasan, yang dipecah jadi empat suku yaitu Bodi, Caniago, Koto dan Piliang. Karena kedua sistem kelarasan (partai) ini sering bentrok, maka muncul kelarasan ketiga yang disebut Lareh Nan Panjang sebagai penengah ( yaitu yang dianut oleh suku-suku di sehiliran Batang Bengkawas) yang pusatnya di Pariangan. Tetapi kenapa sekarang ada 92 suku di Minangkabau ?. Penambahan suku ini sesuai dengan etnis yang masuk ke Minangkabau, dan juga pecahan dari suku-suku yang ada. Dahulunya pecahan suku ini masuk kepada kedua sistem kelarasan ini. Misalnya orang Jawa dari Solo di zaman Pagaruyung di beri nama suku “Sala” (baca buku A.A. Navis: Alam Terkembang Jadi Guru). Untuk mendukung asumsi pengaruh India Selatan ini, misalnya di hulu Sungai Rokan, adalah komunitas yang kita kenal sekarang dengan Batak Mandailing mereka tidak ragu mengatakan bahwa budaya dan nenek moyangnya berasal dari India/Hindu, yang pada awalnya mirip dengan negeri asalnya lihat. http://patuandolok.blogspot.com/2010/02/karya-buku-kebudayaan-mandailing.html. Yang dicari mereka ke sini adalah emas dan rempah-rempah. Banyak bukti bahwa artefak budaya Minangkabau yang memperlihatkan pengaruh Hindu/ India, tetapi bukan untuk menjadi Hindu. Cikal bakal budaya asing itu menjadi budaya Minang yang kita kenal sekarang. Untuk tidak salah pengertian, budaya purba, atau etnis Melayu tua, seperti Mentawai, Nias atau Kubu yang datang dari Taiwan (Nadra, 2006) sebelumnya. Dan atau yang datang kemudian (Arab, Cina, Barat) bukanlah pembentuk budaya Minang, walaupun sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh unsur asing ini. Pada zamannya, budaya Minang itu adalah budaya yang kuat, dia menyebar dengan cepat dan mempengaruhi daerah sekelilingnya tanpa kekuatan senjata. Dan ada saatnya dia menjadi muram, saat budaya ini berbenturan dengan kepentingan budaya asing yang lebih kuat. (Sumber peta: Rusli Amran).
Umumnya filsafat (kosmologi) Minang bersendikan kepada "alam terkembang jadi guru". Di zaman Minangkabau-Hindu/Budha lama penguasa alam itu ada delapan (ajaran hasta brata), yang empat dihilangkan, sehingga tinggal empat. (dalam awal pidato adat selalu disebut angka delapan ini, dikatakan dua pergi ke utara (Cina?), dua lagi ke selatan (Jawa?). Tafsiran sekarang lain lagi. Tetapi yang serba empat ini dipakai dalam kosmologi Minangkabau, misalnya "kato nan ampek", Nan ampek suku dsb. Tafsiran lain tentang kosmologi ini, dapat ditafsirkan "alam" itu adalah lingkungan sosial dan lingkungan geografis sendiri termasuk alam budaya serta masyarakat (sosial) yang mempengaruhinya. Dapat dipahami bahwa wujud kebudayaan Minangkabau yang muncul kemudian disempurnakan dengan adanya persentuhannya dengan budaya luar. Dalam hal ini, banyak penelitian dari ahli sosial dan budaya yang melihat, bahwa pengaruh-pengaruh yang datang itu bukan oleh karena kedatangan masyarakat (budaya) lain ke Minangkabau. Tetapi oleh orang Minang sendiri dengan tradisi "merantau"nya -- dengan sengaja "belajar", menimba ilmu pengetahuan di rantau untuk dibawa "pulang". Jadi merantau bukan semata untuk mencari harta kekayaan, tetapi juga "ilmu pengetahuan" yang memperkaya kebudayaannya sendiri.
Berbicara mengenai kebudayaan, banyak takrif dan atau makna kebudayaan itu. Namun hal ini tidak akan di bahas panjang lebar dalam uraian ini. Singkatnya, kebudayaan itu dapat dilihat dari segi idea-idea, perilaku dan hasil perbuatan (pekerjaan) manusia yang diperoleh dari belajar. Kebudayaan itu juga dapat dilihat dari berbagai sistem-sistem yang lahir dari pola kehidupan manusia itu sendir,i diantaranya adalah (1) sistem peralatan dan perlengkapan hidup; (2) sistem mata pencaharian hidup; (3) sistem kemasyarakatan; (4) bahasa,(5) kesenian; (6) sistem pengetahuan; dan (7) sistem religi. Sistem peralatan dan perlengkapan hidup terinci lagi atas beberapa aspek, satu di antaranya berupa senjata di antara aspek lainnya, seperti alat-alat produktif; alat-alat distribusi dan transportasi; wadah dan tempat menaruh makanan dan minuman; pakaian dan perhiasan; tempat-tempat berlindung dan perumahan (Koentjaraningrat. 11992: 8)
Terlahirnya sebuah senjata (alat membunuh dan berburu) pada mulanya tidak terlepas dari fungsi pakainya yang memang sangat dibutuhkan pada zamannya. la dapat dijumpai dalam bentuk yang sederhana sampai kepada bentuk yang dikenal sekarang. Dari yang berbahan dasar tidak awet sampai kepada material yang tahan lama. Umumnya hasil penelitian para arkeolog menemukan bahwa artefak senjata itu pada awalnya sederhana. Alat ini dibuat dari batu-batuan, kayu-kayuan, gading dan tulang-belulang yang keras, yang dapat dipertajam. Bentuknya, umumnya sederhana. Kemudian ditemukan material logam yang lebih keras lagi dan lebih efektif untuk menggantikan alat yang sederhana itu. Penemuan logam ini, memperlihatkan taraf penemuan dan pemakaian logam yang berbeda-beda pula. Hal ini memperlihatkan tingkat teknologi mengolah logam yang berbeda titik cairnya, mulai dari yang rendah sampai yang tinggi titik cairnya. Hal ini menginspirasi para arkeolog dan sosiolog untuk membagi temuannya berdasarkan tingkatan ini . Misalnya Soekmono yang membagi secara kronologiy temuan logam ini atas tiga tingkatan zaman yaitu (1) zaman tembaga, (2) zaman perunggu, dan (3) zaman besi (Soekmono, 993:61). Dengan ditemukannya cara mengolah besi yang bersifat keras, kuat dan awet. Maka dapat diciptakan senjata seperti ujung panah, tombak, pisau, parang, pedang, badik, rencong, kujang, keris dan lain sebagainya yang lebih bervariasi bentuknya, karena sifatnya yang keras itu.
Seperti yang kita ketahui, logam besi adalah bahan utama dari keris. Hal ini menunjukkan bahwa budaya keris ini juga muncul lebih kemudian, diperkirakan sejalan dengan kemunculan kerajaan-kerajaan di Nusantara ini yang membutuhkan bahan besi untuk persenjataan. Setelah munculnya senjata jenis baru (bedil dan meriam), maka keris tidak lagi dipakai sebagai senjata, tetapi sebagai bagian dari "ceremonial" (upacara-upacara) di kerajaan-kerajaan maupun di kalangan rakyat banyak.
Akhirnya, benda ini kemudian menjadi bagian dari atribut pakaian adat dan benda pusaka yang diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Uniknya -- keris yang dahulunya dipandang sebagai sebuah senjata yang mangkus dan oleh karena ditemukan senjata yang lebih efektif -- keris kemudian beralih fungsi sebagai atribut pakaian adat dan benda pusaka. Pandangan berikutnya yang muncul adalah memitoskan keris sebagai benda budaya peninggalan masa lalu yang sarat dengan nilai historis, filosofis, sosial, etis, dan bahkan religius-magis. la juga dinilai dan dihargai sebagai sebuah benda yang mengandung aspek bahasa rupa/tanda, seni rupa, dan pengetahuan metalurgi.Informasi awal yang diperoleh tentang keris, menyebutkan bahwa beberapa kerajaan kecil di Minangkabau dahulu memiliki sejumlah senjata pusaka sebagai salah satu warisan peninggalan para raja-raja feodal agris Nusantara masa lampau.
Gambar. Candi Bahal,
Candi peninggalan Kerajaan Hindu Padang Lawas, yang diyakini asal mulanya Namora Pande Bosi diketahui dari tulisan huruf Kawi pada Patung Tembaga Bhatara Lokanatha 946 Caka atau 1295 Masehi (Raja Gunung Tua) lebih tua 70 tahun dari huruf kawi di KitabNegarakertagama 1365 masehi.
Pewaris kerajaan Padang Lawas misalnya (lih. peta di bawah, disebut juga kerajaan Pasaman. (no.10) Sampai sekarang masih memiliki beberapa jenis senjata pusaka, seperti tombak berhulu janggi (tanda kebesaran) bertatahkan saga jantan (lidi ijuk enau, tidak beralur pada bagian tengahnya), tombak siamang, keris raja berhulu gajah menong binatang raksasa) bertatah permata dan salapahnya (warangka: Jawa) semuanya terbuat dari emas. Beberapa keris lain dinamakan keris panjang dan pedang" (Dt. Tuah.1985:106). Demikian pula sebagian besar penghulu kaum/suku sampai sekarang masih memiliki keris asli dan baliuang (tongkat) warisan dari para penghulu pendahulunya.
Lokasi Kerajaan-kerajaan kecil semasa pra-Islam .sd. Islam-Minangkabau. Sumber Seminar Sejarah Sumatera Barat sejak purba sampai Islam.-Minangkabau, tahun 2003 di Museum Adityawarman Padang. Kerajaan-kerajaan kecil ini umumnya tidak diketahui oleh generasi Minangkabau masa kini (penghilangan jejak sejarah budaya Minang oleh institusi Pemda dan pendidikan lokal?) Digambar kembali berdasarkan peta Sumatera Barat oleh Nasbahry Couto (2006)
Istana Raja Yang Dipertuan Sutan Besar Daulat Tuanku Rajo Bagindo Raja Adat Alam Surambi Pagu, Pucuk Pimpinan Kampai Nan 24: Balun (Istano Rajo Balun), di Muara Labuh (hasil penelitian).
Pada istana-istana semacam ini banyak ditemukan benda-benda kuno, seperti senjata dan sebagainya. Perhatikan corak bangunan bergonjongnya berbeda dengan yang umum di temui di Minangkabau.
Bekas Istana Raja Koto Anau , di daerah Kabupaten Solok , Sumatera Barat yang masih ada sampai sekarang, (hasil penelitian 2004)
Pada masa kini, keris dipakai sebagai bagian dari pakaian penghulu Minangkabau, . Mereka memakainya ketika menggelar upacara adat. Di berbagai nagari Minangkabau keris juga merupakan bagian dari seperangkat pakaian marapulai (pengantin pria), meskipun tidak jarang keris yang disisipkan di pinggang pengantin hanya keris palsu sebagai atribut yang telah dipersiapkan oleh biro jasa yang bergerak di bidang penyewaan pakaian pengantin.
Di daerah Minangkabau lainnya, bukan keris yang dipusakakan secara turun temurun, tetapi diganti dengan sewah tumbak lado/sakin yakni sejenis pisau dengan ciri tertentu. Keris juga dijadikan benda ikatan perjanjian adat perkawinan saat melaksanakan peminangan (timbang tando) di samping benda lainnya seperti " cincin pertunangan, kain songket, dan sebagainya.
Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan kenapa benda itu diposisikan demikian. Keadaan ini tentu saja mempunyai alasan sendiri-sendiri.
Budibardjo dalam tesisnya 'Keris sebagai Ungkapan Seni Rupa' mengungkapkan setidaknya terdapat tiga kelompok pandangan yang berbeda dalam menilai benda keris itu tersendiri, seperti berikut ini. Pandangan pertama yang berkembang paling belakangan yang selain bersumber dari dunia tradisi juga sangat mungkin telah dipengaruhi dunia pemikiran Barat, beranggapan bahwa keris adalah hasil kebudayaan, kagunan, atau hasil kesenian. Kemudian pandangan kedua yang telah sejak lama berkembang di kalangan masyarakat Jawa, secara umum lebih meyakini bahwa keris merupakan senjata pusaka lebih dikarenakan daya gaib atau tuah yang dimilikinya. Sedangkan menurut pandangan ketiga yang berkembang di kalangan lebih terbatas, keris merupakan pusaka dengan berbagai variasi pemaknaannya dan dinyatakan dengan istilah-istilah yang banyak dikenali oleh kalangan tersebut. Terutama makna-makna sosial, historis, filosofis, etis, dan religius-mistis" (Budihardjo Wirjodirdjo 1998:2).
Agaknya di kalangan masyarakat Minangkabau sendiri juga ditemukan adanya tiga kelompok pandangan di atas. Setidaknya terlihat dari pandangan yang dikemukakan oleh H. Dt Tuah yang mengatakan sebagai berikut.
"Keris kebesaran raja-raja di Minangtabau dahulunya dianggap memiliki kesaktian. Keris bernama Curak Simandang Giri bertakik seratus sembilan puluh digunakan untuk pembunuh setan si Katimuno. Kerisnya bersemangat baja sakti yang enggan disarungkan, dan gembira kalau dihunus, kelahirannya setaraf dengan cipta dunia". (Dt.Tuah,1985: 106-107).
Pendapat senada yang tentang keberadaan sebuah keris pusaka dalam penobatan seorang pengulu dahulunya dikemukakan Mahmud sebagai berikut:
"Di Sungai Pagu telah ditetapkan dan diangkat Datuk Maruhun Mangkuto Alam disumpah oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang dengan meminumkan air keris si Ganjo Era". Selanjutnya dikatakannya: "Di Batu Nan Tigo penghulu dilantik oleh Datuk Suri Dirajo dengan sumpah berbunyi: berkata benar, berbuat baik, menghukum adil dan meminum air keris si Ganjo Era untuk penguat sumpah itu" (Sutan Mahmud dan A. Manan Rajo Pangulu,1978:48).
Mencermati pandangan-pandangan itu, terlihat dengan jelas bahwa sebuah keris dipusakai karena pandangan yang dihubungkan dengan daya gaib atau tuah yang dimilikinya dan pandangan yang terkait dengan makna-makna sosial, historis, filosofis, etis, dan terutama religius-mistis. Kedua pandangan ini sejalan dengan pandangan kedua dari ketiga yang dikemukakan oleh Budihardjo sebelumnya. Perihal keris dipandang sebagai hasil kebudayaan, kagunan, atau kesenian telah pula diungkap oleh Budihardjo dengan mengutip pendapat R. T. Waluyodipuro dalam pengantarnya pada buku Seserepan Bab Dhuwung, Wirjodirdjo (1998) mengemukakan sebagai berikut:
Yang menarik dari pandangan ini ialah bahwa selain menempatkan keris di dalam bingkai konsep tradisi yang disebut kagunan, juga sekaligus telah memadankannya dengan seni lukis, seni patung, dan seni bangunan sebagaimana yang ada di dalam bingkai konsep Barat tentang art dan seni" (Budihardjo Wirjodirdjo, 1998:3). Pertimbangan lain menurut Budi adalah pandangan yang dikemukakan oleh Garret dan Solyom, bahwa "bentuk keris sangat lekat dengan konsep estetik yang canggih dalam proses pembuatan keris". (Budihardjo Wirjodirdjo 1998::75).
Menurut Garret dan Solyom, dalam proses pembuatan keris seorang empu mempertimbangkan tiga aspek utama wujud keris, yaitu (1) silhouette (bayangan) dan surface (permukaan), (2) contour (kontur), dan (3) surface pattern (pola permukaan). Aspek bayangan, permukaan dan kontur dalam istilah tradisi disebut dapur (shape), yaitu suatu bentuk spesifik dari keris yang dapat diidentifikasi berdasarkan kombinasi dari bagian-bagiannya (dalam bahasa Jawa di sebut: ricikan) dan batasan garis bentuk luar keris. Sementara aspek surface pattern yang setiap saat harus diperhitungkan oleh empu dalam pembuatan keris adalah pamor, yaitu suatu pola yang terdapat pada permukaan bilah keris, yang hanya akan nampak apabila keris diberi warangan atau arsen. Selanjutnya Budi mengatakan:
"Menurut keterangan yang mereka peroleh dari empu Jeno, terdapat beberapa konsep estetik penting yang selain terkait dalam setiap tahapan pemantapan dan penyempurnaan bentuk (dapur) keris yang khas. Setiap keris kecil atau besar memiliki wujud atau proporsinya sendiri, sedangkan bagian-bagiannya pun memiliki wangun-nya sendiri pula. Wangun adalah suatu kualitas keseimbangan atau keselarasan yang menjadi ciri keris, dan yang dinyatakan dalam ketepatan proporsi yang bisa diterima akal. Wangun sangat bervariasi dan tergantung pada anggapan dan kepekaan si Empu. Kemudian konsep lain yang juga dikemukakan adalah udawana, yaitu yang menunjukkan suatu gestalt dari keris yang sempurna atau sesuatu yang dapat ditangkap apabila efek total dari susunan bentuk dapat diamati. Hubungan saling menentukan antara pamor merupakan hal yang amat penting, yaitu secara visual saling mengisi, dan pamor mendukung udawana. Di samping itu di kalangan masyarakat Solo dikenal pula konsep guwaya, yaitu kesan kesan atau pengaruh dari keris yang sempurna, yang dapat ditangkap pengamatnya secara visual dan intuitif. Guwaya menyangkut keagungan, keindahan bentuk dan pesona magis.(Garret dan Solyom,1978:15 dalam Budihardjo Wirjodirdjo, 1998:76).
Dari pandangan Jarret dan Solyom, itu Budi mengetengahkan rumusan kesamaan dan perbedaan unsur-unsur estetik keris dengan karya seni rupa lainnya sebagaimana terlihat pada tabel berikut.(sumber: Budihardjo Wirjodirdjo, 1998:78)
Tabel 1.1 Pemadanan Bilah Keris dengan Karya Seni Rupa
Jadi, dari analisis dan temuan seperti itu, Garret dan Solyom memandang keris juga sebagai karya seni rupa (visual art) karena kewanguman bentuk keris dihasilkan melalui unsur-unsur kerupaannya. Konsep-konsep visual, yang terera pada tabel di atas selanjutnya akan dipakai untuk menguraikan unsur-unsur estetik keris keris sebagai tanda/bahasa rupa dengan isi/pesan yang dikandungnya.
Catatan :
Ditinjau dari perkembangan sejarah seni rupa -- pada saat tertentu, dimana pandangan terhadap pembuatan barang tertentu misalnya senjata, atau lukisan -- memiliki kesamaan antara orang Barat dan orang Timur. Misalnya pada masa abad Tengah atau sebelum masa Renaisan di kebudayaan Barat. Tradisi di zaman Renaisan, adalah tradisi Gilda. Yaitu sebuah tradisi pembuatan barang sejenis sebagai sebuah ketrampilan yang dimiliki oleh serikat-serikat kerja tertentu yang disebut serikat Gilda/Gilde. Pada masa itu (renaisan) pembuatan barang seni di Barat, tidak dibedakan dengan pembuatan jenis barang lainnya, misalnya sepatu atau patung. Pemisahan barang seni dan bukan seni terjadi saat sejak munculnya konsep seni moderen di Barat, yang menganggap seni adalah sesuatu penciptaan benda yang indah di pandang mata yang dibedakan dengan barang-barang yang dipakai (fungsional). Hal ini juga memunculkan konsep tentang visualisasi benda itu sendiri. Diantaranya tentang penataan, prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, penyusunan material dan sebagainya yang ditujukan untuk keindahan dan ungkapan (ekspresi) yang diujudkan melalui karya seni itu, sehingga mendatangkan rasa indah/takjub bagi yang menikmatinya. Sementara itu, konsep seni menurut orang Timur masih tetap merupakan kelanjutan konsep ketrampilan membuat benda (di zaman Gilda Eropah), dan tentu saja juga juga dengan segala keistimewaannya dalam bentuk rupa tertentu, dan keistimewaan lain yang abstrak sebab tidak terlihat dengan mata (unsur-unsur isi yang tak kelihatan/mistis).
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa keris menurut orang Timur dapat dilihat sebagai perpaduan dari unsur tampak (garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, proporsi, komposisi, dan sebagainya) dengan unsur yang tak terlihat (isi, pesan, makna filosifis, sosial, historis, etis, dan religius-mistis), dengan kata lain perpaduan antara yang lahir dengan yang batin. Hal ini sejalan dengan pendapat Tabrani (1995) yang mengatakan:
"Tak ada karya seni rupa yang dibuat semata untuk keindahan. Sebaliknya tak ada benda pakai (sehari-hari, upacara, sosial, kepercayaan, agama) yang asal bisa dipakai, ia pasti indah. Indahnya bukan sekedar memuaskan mata, tetapi melebur dengan kaidah moral, adat, tabu, agama, dan sebagainya. Dengan demikian selain bermakna sekaligus juga indah'.(Primadi Tabrani.1995:16).
Dari kutipan-kutipan di atas dapat dikatakan bahwa karya keris merupakan perwujudan dari unsur estetik rupa yakni perpaduan garis, bidang/bentuk, warna, tekstur, yang ditata melalui prinsip-prinsip penyusunan seperti keseimbangan, komposi, proporsi, irama, dan lain sebagainya. Yang lebih penting lagi, unsur-unsur rupa itu bagi orang Timur dapat dijadikan sebagai salah satu media penyampaian pesan/makna-makna filosofis dari ajaran adat. Yaitu sebagai tanda atau yang bermakna, untuk dipedomani oleh pendukung kebudayaan itu.
Dari penelitian sementara dan juga dari beberapa literatur tentang keris, memang ada disebut tentang pesan/makna keris. Namun itupun masih terbatas pada ungkapan-ungkapan yang sukar dipahami, atau masih dalam bentuk bahasa kias yang memerlukan terjemahan lebih lanjut. Ungkapan makna yang dimaksud dapat dilihat dari contoh di bawah ini.
"Karih banamo Ganjo Erah, tunangan ulu kayu kamat, kokoh tak rago dek ambalau, guyahnyo bapantang tangga, ipuah nan turun dari langik, biso nan pantang katawaran, jajak ditikam mati juo"
Keris bemama Ganja Iras, tunangan hulu kayu kamat, kokohnya bukan karena embalau, goyahnya berpantang tanggal, ipuhnya turun dari langit, bisanya tak berpenawar, jejak ditikam mati juga. (Idrus Hakimy ,1994. 182-183)
Mamangan adat di atas merupakan kata-kata hikmah. "Hulu kayu, kamat" misalnya, apakah hulu keris memang dari kayu? Termasuk jenis kayu apa? "Kokohnya bukan karena embalau tetapi tidak pernah tanggal (lepas)". Kalimat ini merupakan dua kalimat bertentangan menurut logika. Pemikiran apa yang tersembunyi di balik pengertian itu? Demikian juga hal-hal yang terkait dengan unsur visual (bentuk bilahan, sarung, gagang dan kelengkapannya) pada keris masih perlu diterjemahkan kembali untuk dapat memahaminya. Memang banyak ditemui ungkapan-ungkapan yang sifatnya mengandung rahasia, ajaran, makna filosofis atau konsep pikiran yang terkandung di balik perwujudan keris ini. Dan apa arti dari ungkapan ini atas pemakaian keris untuk para penghulu dan pengantin belum banyak terungkap. Sebagai contoh, H. Dt. Tuah dalam bukunya ' Tambo Alam Minangkabau' baru mengemukakan delapan buah pesan/makna dari sekian tanda/bahasa rupa yang terdapat pada sebuah keris pusaka Minang.
Oleh karena itu wajar jika perlu digali lebih dalam pesan/makna ajaran adat yang terkandung dalam benda keris dan pemakaiannya itu. Hasil penelitian ini tentunya berguna sebagai bahan informasi bagi masyarakat Minangkabau khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Sebab banyak yang belum dipahami secara rinci. Hal itu mungkin disebabkan oleh banyak hal, antara lain oleh karena keris hanya merupakan bagian terkecil dari benda budaya tradisi Minangkabau, dan terabaikan oleh karena tidak adanya perhatian terhadap benda ini
Di samping itu, ada kecendrungan dimana hasil budaya tertentu sudah kehilangan makna. Apalagi jika hasil budaya itu berkaitan dengan ajaran-ajaran moral yang terkandung di dalamnya dan seakan tergantikan oleh sifat kebendaan semata tanpa makna, sebagaimana diungkap oleh Piliang:
"bahasa kini sudah semakin ringan, semakin sudah tidak dibebani oleh makna, semakin melepaskan diri dari komunikasi bermakna. Gambar-gambar video klip musik atau iklan-iklan komersial dalam televisi seakan-akan ikut memperkuat gambaran kedangkalan permukaan itu. Gambar-gambar tersebut sarat warna, sarat idiom, sarat repertoir, sarat gerakan, sarat tema, sarat irama, akan tetapi miskin makna, miskin kedalaman". Makna-makna yang dikandung ooleh sebuah benda kecil seperti keris semakin tidak dihiraukan terhimpit oleh kesenangan material kebenda yang cukup hanya sekedar memajangnya. (Yasraf Amir Piliang.1998: 30-31)
Di sisi lain, terkait dengan permasalahan asal usul keris itu sendiri kapan adanya di Minangkabau, dan kenapa menjadi salah satu benda atribut pakaian penghulu dan pengantin. Hal ini juga masih merupakan suatu pertanyaan yang membutuh¬kan jawaban. Itulah sebagian alasan penulis kenapa tertarik untuk meneliti keris sebagai bagian dari senjata pusaka etnik Minangkabau, di samping ia, sepanjang yang penulis ketahui juga belum pernah diteliti.
Permasalahan
Oleh karena banyak dan luasnya permasalahan yang dapat mengemuka seputar dunia perkerisan di Minangkabau, seperti sejarah asal usul, pengetahuan dan teknologi keris Minanangkabau yang masih belum jelas, adanya kesamaan tampilan bentuk (terutama sarung dan gagang) keris Minang dengan bentuk sarung dan gagang keris daerah Toraja dan Makassar di Sulawesi, Banjarmasin di Kalimantan, dan Sumbawa di Nusa Tenggara tidak memungkinkan diteliti dalam waktu bersamaan karena terbatasnya tenaga, biaya, dan waktu, maka penelitian ini dibatasi hanya akan meneliti keris pusaka Minangkabau dari aspek berikut ini.
Unsur-unsur rupa yang terakndung pada bilahan, sarung, gagang, dan posisi pemakaian keris dalam tata usana adat Minangkabau, merupakan tanda-tanda atau bahasa rupa yang mengandung pesan atau makna simbolis dari ajaran adat Minangkabau.
Fungsi keris bagi masyarakat Minangkabau mencakup fungsi praktis/profan, sosial/komunikasi rupa, dan sakral.
Sementara perihal yang terkait dengan perjalanan sejarah asal muasal keris sampai di Minangkabau hanya disinggung sepintas lalu dan tidak dijadikan pokok permasalahan dalam penelitian ini. Secara konkrit, rumusan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Bagaimanakah gambaran tampilan bentuk bilahan, pamor, dan hiasan bilahan keris? Bagaimana pula tampilan bentuk sarung dan kecenderungan ragam hiasnya? Bagaimanakah tampilan bentuk gagang dan ragam hiasnya? Bagaimana posisi penempatan keris dalam tata busana adat Minangkabau?
Bagian mana sajakah dari keris yang berfungsi sebagai tanda/bahasa rupa yang mengandung pesan atau makna filosofis ajaran adat Minangkabau?
Pesan atau makna filosofi apa yang terkandung pada setiap tanda/bahasa rupa keris pusaka Minangkabau? Apakah makna itu cukup dimengerti oleh pemilik dan masyarakat lingkungannya? Adakah makna-makna khusus bagi seorang kolektor keris?
Berfungsi apa sajakah keris pusaka Minangkabau?
Lokasi Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di beberapa lokasi yang telah ditentukan sebelum penelitian dimulai. Untuk kawasan luhak Tanahdatar, Istana Basa Pagaruyung Batusangkar ditetapkan sebagai lokasi utama mengingat koleksi kerisnya cukup memadai, sementara lokasi penunjang dipilih nagari Pariangan Padang Panjang (daerah asal etnik Minangkakabau) dan nagari Batipuh (daerah yang disebut sebagai Harimau Campo Koto Piliang -tempat panglima perang kerajaan Minangkabau dulunya).Di luhak Agam lokasi utama ditetapkan dua buah toko souvenir di Pasar Atas Bukittinggi yang masih mengkoleksi keris Minangkabau, dan lokasi penunjan dipilih tiga tempat kolektor masing-masing di nagari Sipisang, Aur Kuning dan Jambu air, serta dua lokasi bengkel pandai besi di nagari Sungai Puar Banuhampu. Untuk kawasan luhak Lima Puluh Kota, ditetapkan lokasi desa Balubus dan Piobang. Sampel keris diambil dari beberapa keris pusaka penghulu suku yang masih terpelihara dengan baik. Sementara untuk kawasan kotamadya Padang, museum Adityawarman ditetapkan sebagai lokasi utama, ditambah dengan satu toko souvenir di jalan Jendera Sudirman. Sampel juga dia diambil dari keris pusaka penghulu suku yang ada di Padang, di samping koleksi masyarakat biasa di Jati Koto Tinggi.
Lokasi Penelitian Keris Minangkabau.
Tipologi Keris Minangkabau
Dari hasil analisis dan kajian bentuk keris Minangkabau dapat diketahui bahwa keris Minangkabau terdiri atas dua tipe yaitu tipe bilahan lurus dan berkelok. Tipe Lurus disebut tarapang dan atau sindorik. Kemudian tipe berkelok dinamakan karieh. Bentuk kedua bilahan ini sama saja dengan keris di banyak kawasan Nusantara. Pengaruh yang paling mungkin diduga bersumber dari keris Jawa mulai sejak masa kerajaan Majapahit, yang di Minangkabau dikenal dengan Karieh Sampono Ganjo Erah yang berasal dari kata Sempena Ganja Iras. Sedangkan aspek pamor bilahan keris, hanya terdiri dari dua jenis jakni pamor api dan (Bimasakti).
Keris lurus (Tarapang/sindorik, lengkap dengan sarungnya. Koleksi Zayadi Makmur, Bukittinggi. Foto Erwin A. 1999.
Kedua jenis pamor ini tidak ditemukan pada bilahan keris Jawa. Kuat dugaan, pamor ini merupakan hasil pemikiran dari empu keris Minangkabau yang anonim. Tidak ditemukan adanya bilahahan yang berpamor putih cemerlang. Kebanyakan bilahan keris Minangkabau tidak memiliki pamor sebagaimana yang dimaksud dengan pamor pada keris Jawa. Demikian juga tentang tipe ujung keris. Jika ujung keris Jawa terdiri dari empat macam tipe, maka di Minangkabau hanya semacam saja yang dinamakan rabuang mambasuik (rebung yaitu tunas bambu yang muncul dari tanah).
Sarung keris juga terkelompok atas dua tipe, polos dan berpembungkus/berpendok. Sarung ber-pendok terdiri pula atas dua tipe yakni ber-pendok langsung dan dua bagian. Pendok dua bagian dilengkapi dengan dua tipe ragam hias, pada bagian atas terdapat dua bidang (tengah dan pinggir) masing-masing dilengkapi dengan dua tipe motif yakni moti( tengah dan motif pinggir, sedangkan bidang pendok bagian bawah cukup bervariasi, ada dengan pola horizontal, diagonal, atau berarah, demikian pula dengan motif isiannya juga cukup bervariasi. Semua sarung keris dilengkapi dengan labu yang sebagian dihias dengan berbagai motif hias Bentuk sarung keris Minangkabau hampir sama dengan sarung keris Jawa. Perbedaan paling nyata terlihat dari bentuk gembo/warangka, ragam hias pendok, dan labu. Kuat dugaan bentuk gembok dan labu ini pengaruh dari daerah Sulawesi. Sementara ragam motif hias pendok sesuai dengan motif hias Minangkabau yang banyak terdapat pada ukiran rumah gadang.
Keris Tangah Tigo Patah/ Luk 3 ( sumber koleksi Idrus Hakimi. Dt. Rajo Pangulu, Padang. Foto Nasrul Kamal/ Erwin A. 1999.
Gagang keris pun terdiri atas dua tipe, vertikal dan horizontal. Masing-masing tipe terkelompok atas polos dan ada yang beragam hias. Bagi gagang yang beragam hias dilengkapi dengan berbagai motif hias. Mendak/selot, gagang juga demikian ada yang polos dan ada pula diberi bungkus. Sebagian labu berbungkus dilengkapi dengan beberapa motif hias. Pada sebagian keris, selain memiliki mendak/selot ada yang dilengkapi dengan pembungkus punting yang juga brmotif hias. Melihat bentuk gagang, terlihat adanya kesamaan dengan beberapa daerah lain di luar pulau Jawa dan Bali. Kuat dugaan bentuk gagang ini berasal dari Sulawesi, sementara penamaan motif hias selot/mendak disesuaikan dengan nama motif hias Minangkabau.
Dari sisi pemakaian, sebuah keris disisipkan pada bagian depan pinggang dengan posisi miring ke kiri sekiar 45° dan bungkuk gagang mengarah ke muka. Hal ini sangat mungkin bersumber dari falsafah dan alam pemikiran asli Minangkabau.
Unsur Rupa Keris Minangkabau
Dalam banyak buku yang telah ditulis (orang Minang atau penulis asing), seperti buku-buku umum tentang adat istiadat, tambo-tambo saduran, dan cerita-cerita lisan (bakaba), disebutkan orang Minangkabau mempunyai senjata pusakakeris disamping jenis senjata lainnya.
Garis besar bagian-bagian bilahan keris (karieh).Koleksi Jamaluddin Dt.Rajo Mangkuto, di nagari Pariangan. Nama ricikan: Ki Hadoyo Doyodipuro. Foto Erwin.1999.
Nama bagian gagang dan sarung keris.
Secara umum digambarkan bahwa keris dibuat dalam bentuk khusus bentuk khusus (berkeluk-keluk) dari bahan baja dan kawat besi, mata pisaunya 14 inci (35,5 cm) hulunya ada yang dibuat dari gading gajah; gigi duyung, gigi ikan duyung, gigi badak, jangur ikan layar; batu karang yang hitam; atau kayu yang berserat halus diamplas dan diukir dalam figur tertentu dan terkadang dihiasi dengan emas atau suasa (campuran emas dengan tembaga); sarung dibuat dari kayu bermutu dan terkadang iikat dengan anyaman rotan, diwarnai merah diantara di bagian bawah atau dilapisi emas, dipakai di bagian depan sabuk, (William Marsden, bab 3 3:91). Hal ini digambarkan dalam mamangan adat sebagai berikut ini.
Sinjato karih kabasaran, sisiaknyo tinaman labu, sampiang jo cawek nan tampeknyo, gembo tumpuan puntiang, hulu kayu kamat, kokoh tak rago dek ambalau, bengkok nan tangah tigo patah, bamato baliak batimba, sanjato pulo dek gebonyo, ipuah nan turun dari langik, biso nan pantang katawaran, karih Sampono Rajo Erah.
Yang terjemahannya sebagai berikut ini.
Keris senjata kebesaran, pemakaiannya tersisip seperti tanaman tebu, di pinggang miring ke kiri di bagian dalam sesamping dan ikat pinggang, ganjanya yang senyawa dengan bilahan, hulu terbuat dari kayu kamat (keramat?) dan pesinya tanpa embalau – pesi artinya melekat pada gagang tanpa direkat oleh embalau, keloknya dua setengah kelokan dengan mata tajam timbal balik, disepuh dengan ipuh yang ganas, dan diberi nama Ganja Iras.(dalam Datuk Nagari Basa, I966:8-20, Hakimy.1997:104-109, Rusli Amran 1981: 462, H.Datuk Tuah 1985: 71). Keris bernama Curak Simandang Giri, betakik seratus sembilan puluh, digunakan untuk pembunuh setan si Katimuno. Bersemangat baja sakti yang enggan disarungkan, dan gembira kalau dihunus (H.Dt Tuah, 1985: 106-107. Dinamakan keris karena dua alasan yakni karena kekerasan dan kekuatannya (Zainuddin 19053).
Jika semua pendapat di atas, dirangkum dan dikonsuItasikan dengan uraian pengetahuan keris Jawa, maka sebuah keris Minangkabau dilihat atas beberapa bagian, yakni:
a) bilahan: (bagian dalam)
b) sarung
c) gagang (bagian luar);
d) bahan dasar
e) penempatan keris saat dipakai, dan
f) unsur-unsur visual yang terkandung pada setiap bagian (pont 1-5)
g) fungsi keris; dan
h) pesan atau makna yang terkandung di balik bentuk keris dan pemakaiannya
Bilah keris dirinci lagi atas bahan dasar, ricikan atau perlengkapan, dan pamor/hiasannya. Sarung keris dapat pula dirinci atas bahan dasar, perlengkapan gembo/warangka (Minangkabau/Jawa) atau bagian atas, badan (gandar-Jawa) atau bagian tengah, dan labu (Minangkabau) atau bagian bawah. Sebagian badan (gandar-Jawa) sarung dilengkapi dengan pembungkus (pamandak-Minangkabau/ pendok-Jawa). Logam seperti perak, suasa, atau emas dan diberi motif ragam hias dan sebagian lainnya dirancang polos. Labu umumnya terbuat dari kayu, tetapi tidak jarang juga dilapisi dengan logam perak, suasa, atau emas ditatah dengan berbagai motif ragam hias. Gagang terdiri atas dua tipe, vertikal dan horizontal, polos dan beragam hias. Ricikan bagian gagang terdiri atas pegangan (deder:Jawa), mendak dan selot/saluk (Jawa/Minangkabau), keduanya terkadang juga dilengkapi dengan motif ragam hias.
Ukuran-ukuran keris yang tertera pada keterangan berikut diukur dan dicatat oleh peneliti di lapangan. Sementara aspek bahan dasar bilahan diketahui melaui wawancara dengan nara sumber, terutama bapak Abu Yazid yang dianggap telah ahli dalam duna perkerisan. Narasumber yang lain seperti dua oranng andai besi yang mengerti sifat bahan besi dan warna yang ditimbulkannya.
Fungsi Keris
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sebuah keris pusaka di Minangkabau adalah berfungsi sebagai berikut ini.
Senjata tikam (fungsi praktis). Keris sebagai senjata hanya digunakan pada masa lalu (sampai dengan awal kemerdekaan). Pada masa sekarang tidak satu kerispun dipergunakan orang untuk senjata maupun untuk kejahatan. Perubahan itu disebabkan karena kelangkaan keris yang beredar, dan atau banyak senjata lain yang lebih efektif dan mudah dimiliki selain keris. (catatan: pandangan ini menjadi polemik, dianggap sebagai pandangan Barat, lih: Bambang Harsrinuksmo.http://www.geocities.ws/javakeris/kerisologi.htm)
Tanda status sosial dan lambang kebenaran. Sebagai tanda status sosial daIam arti simbol seorang pemimpin eperti raja, penghulu, manti (utusan/diplomat), alim/malim, dubalang (hulubalang) sesuai dengan ketentuan adat (lukih/limbago-nya). Sebagai lambang kebenaran, ajaran falsafah yang terkandung di dalamnya merupakan pedoman bagi pemimpin itu dalam menjaIankan kepemimpinannya. Dengan pengertian ini pemimpin adalah seorang manusia yang menjunjung tinggi kebenaran tanpa memihak kepada salah satu kepentingan.
Benda simbol perjanjian. Perjajian yang dimaksud menyangkut urusan adat, yang terpenting seperti perjanjian perdamaian dan pertunangan.
Benda pengobatan, pagar rumah, dan penolak bala. Hal ini berlaku secara khusus bagi kalangan terbatas/sebagian kecil masyarakat.
Keris sebagai media penyampaian pesan/makna. Yaitu melalui tanda/bahasa rupa. Keris Minangkabau mengandung sejumlah tanda dan makna falsafah dari ajaran adatnya.
Biodata Singkat
Drs. Erwin AK, M.Sn, adalah kelahiran Rao, Mapat Tunggul, Pasaman, provinsi Sumatera Barat. Masa kecilnya tingkat SD berada di desanya, kemudian di tingkat SMP dan SMA adalah sekolah Islam (PGA-N). Selanjutnya melanjutkan pendidikan ke IKIP Padang dan tamat Sarjana Pendidikan Seni Rupa IKIP, Padang tahun 1983. Kemudian melanjutkan dan tamat Magister Seni, Seni Rupa ITB, Bandung (2000). Sejak tahun 1984 beliau mengabdikan dirinya sebagai pengajar di Seni Rupa FBSS UNP Padang. Disamping mengajar juga aktif sebagai pengelola mesjid, menjadi imam dan penceramah. Alamat Rumah: Lubuk Gading Permai III Blok M/5 Lubuk Buaya Padang Telp. (0751) 482460.
Catatan:
(1) Umum.
Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berliku-liku, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu guratan-guratan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik. Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya. Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan. Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia (intangible cultural heritage) sejak 2005.
(2) Keris menurut budaya Jawa
Keris harus terdiri dari dua bagian utama, yakni bagian bilah keris (termasuk pesi) dan bagian ganja. Bagian bilah dan pesi melambangkan ujud lingga, sedangkan bagian ganja melambangkan ujud yoni. Dalam falsafah Jawa, yang bisa dikatakan sama dengan falsafah Hindu, persatuan antara lingga dan yoni merupakan perlambang akan harapan atas kesuburan, keabadian (kelestarian), dan kekuatan.
Bilah keris harus selalu membuat sudut tertentu terhadap ganja. Bukan tegak lurus. Kedudukan bilah keris yang miring atau condong, ini adalah perlambang dari sifat orang Jawa, dan juga suku bangsa Indonesia lainnya, bahwa seseorang, apa pun pangkat dan kedudukannya, harus senantiasa tunduk dan hormat bukan saja pada Sang Pencipta, juga pada sesamanya. Ilmu padi, kata pepatah, makin berilmu seseorang, makin tunduklah orang itu.
Ukuran panjang bilah keris yang lazim adalah antara 33 - 38 cm. Beberapa keris luar Jawa bisa mencapai 58 cm, bahkan keris buatan Filipina Selatan, panjangnya ada yang mencapai 64 cm. Yang terpendek adalah keris Buda dan keris buatan Nyi Sombro Pajajaran, yakni hanya sekitar 16 - 18 cm saja.
Keris yang dibuat orang amat kecil dan pendek, misalnya hanya 12 cm, atau bahkan ada yang lebih kecil dari ukuran fullpen, tidak dapat digolongkan sebagai keris, melainkan semacam jimat berbentuk keris-kerisan.
Keris yang baik harus dibuat dan ditempa dari tiga macam logam,- minimal dua, yakni besi, baja dan bahan pamor. Pada keris-keris tua, semisal keris Buda, tidak menggunakan baja. Dengan demikian, keris yang dibuat dari kuningan, seng, dan bahan logam lainnya, tidak dapat digolongkan sebagai keris. Begitu juga "keris" yang dibuat bukan dengan cara ditempa, melainkan dicor, atau yang dibuat dari guntingan drum bekas aspal tergolong bukan keris, melainkan hanya keris-kerisan.
(3) Pemakaian Keris sebagai atribut Upacara
Di Pulau Jawa pada umumnya keris dikenakan orang dengan cara menyelipkannya di antara stagen sejenis ikat pinggang, di pinggang bagian belakang. Yang paling umum, keris itu diselipkan miring ke arah tangan kanan, namun pada situasi yang lain, lain pula posisi keris itu. Umpamanya, pada situasi perang, kalau yang mengenakan keris itu seorang ulama - keris akan diselipkan di bagian dada, miring ke arah tangan kanan. Misalnya seperti yang dikenakan oleh Pangeran Diponegoro pada gambar-gambar yang dapat kita lihat di buku sejarah.(sumber: http://www.geocities.ws/javakeris/kerisologi.htm).
Di daerah Minangkabau, Bangkinang, bengkulu, Palembang, Riau, Malaysia, Brunai Darussalam, Pontianak, Sambas, Kutai, Tenggarong, Banjar, Bugis, Goa, Makassar, Luwu, dll, keris biasanya dikenakan dengan cara menyelipkannya pada lipatan kain sarung, di bagian dada atau perut Si Pemakai, dengan kedudukan serong ke arah tangan kanan.
Pada sebagian suku bangsa di Indonesia, mengenakan pakaian adat tanpa keris adalah sesuatu yang aneh, janggal, tidak masuk akal. Barangkali seperti melihat orang Eropa mengenakan jas dan dasi tetapi tanpa sepatu.
Di Pulau Bali keris dikenakan dengan cara menyelipkannya pada lipatan kain, di punggung dengan posisi tegak atau miring ke kanan. Tetapi pada situasi yang khusus, cara pemakaiannya juga lain lagi.
Cara pemasangan keris pada bagian atribut pakaian (1) Jawa, (2) Minangkabau (3) Bali.
dikutip dari visualheritageblog.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar